02 Oct W3 | Make No Assumptions
REFERENCE BIBLE VERSES
Amsal 18:13 | Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya.
OBJECTIVE
Monthly Theme: Excellence in Relationship
- Untuk memahami bahwa membuat asumsi dapat merusak hubungan karena hal itu mengakibatkan kesalahpahaman, penilaian keliru tentang orang lain, dan tanggapan yang tidak tepat.
- Untuk memahami bahwa sebagai orang Kristen, Tuhan memanggil kita untuk mencari kebenaran dalam kasih, mendengarkan dengan kerendahan hati dan tidak mengandalkan asumsi kita sendiri.
CONTENT
BAD ASSUMPTIONS RUIN RELATIONSHIPS
-
Asumsi Mendahului Realita
Salah satu cara asumsi paling umum muncul adalah ketika kita menciptakan narasi dalam pikiran kita tentang apa yang dipikirkan atau dilakukan orang lain. Dengan tidak adanya komunikasi yang jelas, kita mengisi kekosongan dengan tafsiran kita sendiri. Hal ini dapat menyebabkan salah menilai maksud orang lain. Contohnya, jika seorang teman tidak membalas pesan dengan segera, kita mungkin berasumsi mereka marah atau menghindari kita, padahal kenyataannya, mereka mungkin hanya sibuk atau sedang menghadapi masalah pribadi. Asumsi yang terburu-buru ini menghalangi percakapan yang jujur dan menumbuhkan ketegangan yang tidak perlu dalam hubungan. -
Memicu Reaksi yang Tidak Tersaring
Asumsi juga cenderung mempengaruhi respons emosional kita. Ketika kita mempercayai sesuatu tanpa memverifikasinya, kita sering bertindak berdasarkan keyakinan tersebut, tanpa mengambil waktu untuk berhenti sejenak dan merenung. Reaksi yang tidak tersaring ini bisa berbahaya karena berakar pada realita yang dibayangkan, bukan kebenaran. -
Memecah Belah Hubungan dan Menyalakan Gosip
Ketika asumsi dibiarkan tanpa pemeriksaan, asumsi dapat dengan cepat berubah menjadi rumor atau gosip. Cara kita "menafsirkan" suatu situasi dapat menjadi terdistorsi ketika kita membagikannya kepada orang lain. Efek berantai ini dapat menyebabkan kesalahpahaman menyebar melampaui orang yang terlibat awalnya, memecah belah hubungan dan mengikis kepercayaan.
JESUS CONFRONTS ASSUMPTIONS WITH TRUTH
-
Asumsi tentang Dosa dan Penderitaan
Dalam Yohanes 9, murid-murid Yesus bertemu dengan seorang yang buta dan berasumsi bahwa kebutaan itu adalah akibat dosanya sendiri atau dosa orang tuanya. Asumsi ini berakar pada keyakinan umum pada masa itu bahwa penderitaan adalah konsekuensi langsung dari dosa. Namun, Yesus menantang asumsi ini dengan menyatakan bahwa kebutaan orang itu bukan karena dosa, melainkan agar pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan di dalam dia. -
Kebutaan Rohani Para Pemimpin Agama
Di sepanjang kitab Injil, Yesus secara rutin menantang asumsi-asumsi para pemimpin agama, khususnya orang-orang Farisi. Orang Farisi percaya mereka lebih unggul secara rohani karena ketaatan ketat mereka pada hukum Taurat, namun Yesus seringkali menelanjangi kesalehan diri dan kurangnya pengertian sejati mereka. Ia menghadapi asumsi mereka bahwa perilaku lahiriah sama dengan kemurnian batin, dan sebaliknya mengajarkan bahwa kebenaran sejati adalah persoalan hati. -
Kebenaran Mengatasi Prasangka
Yesus juga menghadapi asumsi-asumsi budaya dan sosial, khususnya yang terkait dengan prasangka. Dalam Yohanes 4, Yesus berbicara dengan seorang perempuan Samaria di sumur—sebuah tindakan yang memalukan pada masa itu karena orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria. Perempuan itu sendiri berasumsi bahwa Yesus sama seperti setiap laki-laki Yahudi lainnya, dan mempertanyakan mengapa Ia berbicara dengannya. Namun, Yesus menantang asumsi ini dengan menawarkannya air hidup dan menyatakan diri-Nya sebagai Mesias.
Momen ini adalah pengingat yang kuat bahwa pesan kasih dan kasih karunia Yesus melampaui norma-norma sosial, prasangka, dan asumsi. Ia tidak membiarkan asumsi-asumsi budaya atau tradisi mendikte cara Ia berinteraksi dengan orang. Sebaliknya, Ia menawarkan kebenaran yang meruntuhkan penghalang dan memanggil kita untuk menantang prasangka dan asumsi kita sendiri ketika kita berinteraksi dengan orang lain.
CONCLUSION
Asumsi bagai penutup mata yang mencegah kita melihat kebenaran. Ketika kita beroperasi berdasarkan asumsi, kita berisiko merusak hubungan dan kehilangan pemahaman yang lebih mendalam. Sama seperti Yesus menghadapi asumsi yang keliru dengan kebenaran, kita dipanggil untuk mencari kebenaran dan menantang asumsi-asumsi yang mengaburkan penilaian kita. Dengan mendengarkan dengan saksama, mempertanyakan praduga kita, dan menanggapi dengan anugerah, kita dapat membangun hubungan dengan orang lain yang lebih kuat dan lebih otentik.
REFLECTION/DISCUSSION QUESTIONS
- Dapatkah Anda mengingat suatu waktu ketika sebuah asumsi melukai sebuah hubungan yang Anda hargai? Bagaimana hal itu diselesaikan?
-
Apa yang dapat Anda lakukan untuk menghindari mengasumsikan motif/memberikan penilaian?
Contoh:
1. Periksa asumsi Anda: Luangkan waktu untuk merenungkan asumsi-asumsi yang Anda buat dalam kehidupan sehari-hari. Adakah asumsi yang mungkin tidak akurat? Pikirkan bagaimana asumsi-asumsi ini mungkin mempengaruhi hidup dan hubungan Anda.
2. Carilah kebenaran: Alih-alih membuat asumsi, cobalah untuk mencari kebenaran dalam suatu situasi. Ajukan pertanyaan, dengarkan dengan saksama, dan kumpulkan bukti sebelum menarik kesimpulan. Ini akan membantu Anda membuat keputusan yang lebih terinformasi dan menghindari kesalahpahaman.
3. Tantang asumsi: Ketika Anda mendengar seseorang membuat asumsi, jangan ragu untuk menantangnya. Ajukan pertanyaan dan dorong mereka untuk mencari kebenaran. Ini dapat membantu mencegah kesalahpahaman dan mempromosikan komunikasi yang sehat.
4. Praktikkan empati: Alih-alih membuat asumsi tentang niat atau motif orang lain, cobalah untuk menempatkan diri pada posisi mereka dan praktikkan empati. Ini dapat membantu Anda memahami perspektif mereka dan menghindari kesalahpahaman.
5. Lepaskan asumsi: Akhirnya, belajarlah untuk melepaskan asumsi-asumsi yang tidak lagi melayani Anda. Berpegang pada asumsi-asumsi yang sudah ketinggalan zaman dapat menghalangi Anda untuk bertumbuh dan belajar. Dengan melepaskan asumsi-asumsi ini, Anda dapat membuka diri terhadap pengalaman dan perspektif baru.
REFERENCES